Animated Cool Shiny Blue Pointer

Selasa, 22 November 2016

Posted by Ahmad Zaini On 00.19 16 komentar

Pemain Sepak Bola Legendaris Indonesia

Pemain Sepak Bola Legendaris Indonesia




Pemain Sepak Bola Legendaris Indonesia
1. Maulwi Saelan:

Maulwi Saelan (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Agustus 1928; umur 85 tahun) adalah salah satu pemain sebak bola legendaris dan juga pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia juga pernah menjadi salah satu ajudan pribadi presiden Soekarno. Selain itu ia dikenal juga sebagai pendiri Taman Siswa Makassar.

Maulwi Saelan merupakan anak Amin Saelan, tokoh nasional di Makassar dan pendiri Taman Siswa di kota itu. Dia bergabung dengan tim nasional Indonesia era 1954-1958 dan berkontribusi besar dalam keberhasilan Indonesia menembus empat besar Asian Games 1954 dan meraih medali perungggu di Asian Games 1958.

Salah satu penampilan heroik Maulwi adalah ketika menghadapi Rusia di Olimpiade Melbourne, 17 November 1958. Indonesia kala itu berhasil menahan imbang Uni Soviet yang merupakan salah satu tim terkuat Eropa dan dunia. Maulwi Saelan berjibaku menahan gempuran Igor Netto, Sergei Salnikov, dan Boris Tatushin. Skor 0-0 bertahan hingga akhir pertandingan.


2. Yudo Hadianto:

Yudo Hadianto (lahir di Solo, Jawa Tengah, 19 September 1941; umur 72 tahun) adalah salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia era 1960-an dan 1970-an. Pada masanya ia sempat diakui sebagi kiper terbaik Asia. Selain itu ia pernah kuliah di Fakultas Ekonomi UI periode 1960-1963 tetapi tidak selesai.






3.Yuswardi:

Yuswardi (lahir di Medan, Sumatera Utara, 2 Juli 1945; umur 68 tahun) adalah mantan pemain nasional sepak bola Indonesia pada era 1970-an yang saat ini melatih tim PSMS Medan. Bersama Hengky Heipon ia juga pernah melatih timnas PSSI Perserikatan

4.Simson Rumahpasal:

Simson Rumah Pasal (lahir di Desa Lohiatala, Seram Barat, Maluku, 21 Agustus 1950; umur 63 tahun) adalah mantan pemain nasional sepak bola Indonesia pada era 1970-an dan awal 1990-an

Spesialis bek kanan dan Mantan pemain nasional berdarah Maluku ini cukup lama membela tim Merah Putih. Kepiawaiannya menghalau serangan yang datang dari sektor kiri, membuat posisi bek kanan timnas selalu dipercayakan pada Simson di era pertengahan 70-an hingga awal 80-an.

Tak kurang dari delapan tahun Simson mengawal sektor pertahanan timnas. Dalam kurun itu, ia sempat tampil di sejumlah ajang internasional, seperti Merdeka Games, Pra Olimpiade, King’s Cup, SEA Games dan Pra Piala Dunia.

Usai gantung sepatu, Simson memiliki keinginan untuk membagi ilmu yang dimilikinya pada para pemain muda dan membuatnya sekarang menekuni profesi baru sebagai pelatih.

Sebagai pelatih, Simon tercatat sempat bergabung dengan sederet klub diantaranya Persikota Tangerang, Warna Agung, Persita Tangerang, Persijatim Jakarta Timur, PS Ketapang, Persipon Pontianak, Persika Karawang dan PS ABRI.

5. Yohanes Auri:

Yohanes Auri atau dikenal dengan julukan Black Silent (lahir di Manokwari, Papua, 30 Oktober 1954; umur 59 tahun) adalah pemain sepak bola Indonesia. Ia bermain sebagai pemain belakan pada tim Persipura dan Persija dan pernah menjadi anggota tim nasional sepak bola indonesia pada periode 1970-an.

6.Didik Darmadi:

Didik Darmadi (lahir di Solo, Jawa Tengah, 14 Maret 1960; umur 53 tahun) adalah pemain sepak bola Indonesia. Ia beberapa kali terpilih sebagai anggota tim nasional Indonesia untuk Pra Piala Dunia. Didha, nama panggilannya, sejak tahun 1981 tak pernah absen dari tim nasional. Ia juga merupakan salah satu lulusan PSSI Binatama.

Pelatih yang membesarkannya adalah Djamiat Dhalhar dan Sutjipto Suntoro. Karirnya diawali di klub Adidas HWM Solo, kemudian besar di klub Warna Agung. Pada tahun 1982, ia hijrah ke Indonesia Muda. Didha adalah pengagum Anwar Sadat.

Posisi yang biasa ia mainkan adalah sebagai pemain belakang.

7.Anwar Ujang:

Anwar Ujang (lahir di Cikampek, Karawang, Jawa Barat, 2 Maret 1945; umur 68 tahun) adalah mantan pemain nasional sepak bola Indonesia di era 1970-an dan 1980-an dari Klub Persika Karawang.

Sebelum menjadi pemain sepak bola sempat menjadi karyawan Pertamina pada tahun 1960.

Pemain dengan nomor punggung 5 ini pertama kali bergabung dengan PSSI pada April 1965 dan menjadi Kapten PSSI pada tahun 1971 - 1974. Pada masa jayanya, ia sering dijuluki Beckenbauer Indonesia dan bersama tim Indonesia sering melakukan pertandingan-pertandingan melawan tim dari Eropa dan Asia.

8. Robby Darwis:

Robby Darwis (lahir di Bandung, Jawa Barat, 30 Oktober 1964; umur 49 tahun) adalah seorang pemain sepak bola legendaris Indonesia yang terkenal pada tahun 1990-an dan merupakan salah satu bintang Persib Bandung pada era tersebut.

Ia berposisi sebagai stoper (bek tengah). Pada musim pertama Liga Indonesia, ia membawa Persib menjadi juara sebagai kapten tim. Darwis pernah pula bermain di Liga Malaysia, memperkuat Kelantan FC. Di tim nasional Indonesia (1987-1997), ia tampil sebanyak 53 kali dan mencetak 6 gol.

Di Liga Indonesia 2007 Robby Darwis menjadi asisten pelatih Persib (Arcan Iurie), dan cuti dari pekerjaan sebelumnya yaitu sebagai bankir di BNI 1946.

Tahun 2010 Robby menjadi pelatih sementara Persib menggantikan Jaya Hartono yang mundur. Tahun 2011 Robby menjadi pelatih tetap Persib, di AFF 2012 dia jadi asisten pelatih.

9.Ronny Pattinasarani:

Ronald Hermanus Pattinasarany atau lebih dikenal dengan nama Ronny Pattinasarany (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 9 Februari 1949 – meninggal di Jakarta, 19 September 2008 pada umur 59 tahun) adalah pelatih sepak bola Indonesia dan salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia.

Ronny meninggal dunia pada Jumat-19 September 2008, pukul 13:30 WIB, dalam usia 59 tahun, akibat kanker hati yang dideritanya sejak Desember 2007. Ronny pergi meninggalkan seorang istri, Stella Pattinasarany, dan 3 anak: Benny, Yerry, dan Cita yang mendampinginya sampai saat-saat terakhir di Rumah Sakit Omni Medical Center, Pulo Mas, Jakarta Timur.

10.Herry Kiswanto:

Herry Kiswanto (lahir di Banda Aceh, Aceh, 25 April 1955; umur 58 tahun) adalah seorang pelatih sepak bola Indonesia dan salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia. Posisinya di lapangan sebagai libero. Dalam kariernya ia hanya pernah mendapat sekali kartu kuning.

Herry memulai karir sebagai pemain pada 1979, ketika ia bergabung dengan Pardedetex Medan setelah pemilik klub TD Pardede tertarik dengan permainannya. Awalnya dia berposisi gelandang, namun mengikuti saran dari Kamaruddin Panggabean, dia mulai bermain sebagai libero.

4 tahun kemudian ia pindah ke Yanita Utama, dan bermain 2 tahun sebelum pindah ke Krama Yudha Tiga Berlian pada 1985.Dia mencapai kesuksesan bersama Yanita Utama and Krama Yudha Tiga Berlian sebagai juara Galatama selama 4 tahun berturut-turut pada era 1983–1987.Dia bertahan di Krama Yudha Tiga Berlian sampai 1991.

Dia terkenal sebagai pemain yang sportif dimana ia hanya mendapatkan satu kartu kuning dalam 17 tahun karir. Kartu itu didapatnya saat memperkuat Krama Yudha Tiga Berlian melawan tuan rumah Pelita Jaya di Stadion Lebak Bulus, Jakarta, setelah memprotes (dalam perannya sebagai kapten) keputusan wasit.

11.Iswadi Idris:

Iswadi Idris (lahir di Banda Aceh, Aceh, 18 Maret 1948 – meninggal di Jakarta, 11 Juli 2008 pada umur 60 tahun) adalah salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia . Pemain yang dijuluki "Boncel" karena tubuhnya relatif pendek (tinggi 165 cm) ini termasuk pemain paling berbakat yang dimiliki Indonesia. Ia memperkuat timnas PSSI sebagai pemain gelandang pada era 1960-an dan 1970-an. Selama menjadi pemain, Bang Is, demikian ia akrab disapa, sangat menggemari nomor punggung 13.Bersama dengan Soetjipto Soentoro, Abdul Kadir, dan Jacob Sihasale, dikenal dengan sebutan "kuartet tercepat di Asia" berkat kecepatan dan kelincahan mereka yang luar biasa. Iswadi juga terkenal sebagai pemain yang memiliki visi yang luas, disiplin, keras, dan berkarakter, baik di dalam maupun luar lapangan. Karena sosoknya tersebut, ia terpilih menjadi kapten timnas sejak awal 1970 sampai 1980. Tak hanya piawai di posisi gelandang, sejumlah posisi lainnya pun sempat ia lakoni selama membela timnas, mulai dari bek kanan hingga sweeper. Ia pun menjadi pelopor pemain serba bisa yang andal dalam berganti-ganti posisi sebelum diteruskan oleh Ronny Pattinasarani. Berkat kepiawaiannya tersebut Bang Is berhasil menjadi pemain Indonesia pertama yang dikontrak oleh klub asing yaitu Western Suburbs, Australia di tahun 1974-1975.

12.Junaedi Abdillah:

*tengah

Junaedi Abdillah (lahir di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, 21 Februari 1948; umur 65 tahun) adalah mantan pemain nasional sepak bola Indonesia.

Junaidi menimba ilmu sepak bola bersama klub Indonesia Muda. Dia juga pernah belajar di Diklat Salatiga pada 1960-an bersama Oyong Liza, Sartono Anwar dan Harsoyo. Dari Salatiga, Junaidi dan Oyong dipanggil masuk tim nasional junior. Di tim yang disebut PSSI B itu, mereka berhasil menjadi runner-up Kejuaraan Juior Asia 1967 di bawah Israel. Ketika itu, Federasi Sepak Bola Israel masih tergabung di zona Asia.

Keberhasilan itu mengantar Junaidi dan beberapa rekan lainnya seperti Oyong, Suaeb Rizal, Harsoyo, Abdul Kadir, Waskito dan Bob Permadi ke tim nasional senior atau PSSI A. Di tim ini, mereka bersaing dengan seniornya seperti Soetjipto Soentoro dan Jacob Sihasale. Junaidi juga pernah memperkuat Indonesia di kualifikasi Olimpiade Munich 1972 bersama dengan Iswadi Idris dan Ronny Pattinasarani.

13.Zulkarnaen Lubis:

Zulkarnaen Lubis (lahir di Binjai, Sumatera Utara, 21 Desember 1958; umur 54 tahun) adalah salah seorang mantan pemain nasional sepak bola Indonesia dari klub PSMS Medan pada era 1970-an. Dia adalah pemain PSMS Medan (1979-1980) dan Mercu Buana Medan (1981-1982), sebelum memperkuat klub-klub elite di Pulau Jawa, di antaranya Yanita Utama Bogor.

Pada eranya ia sering dijuluki sebagai Maradona Indonesia karena ia sering beroperasi di lini tengah, gocekan dan umpan-umpan matang dari kaki Zulkarnaen membuat para penyerang depan seperti mendapat pelayanan kelas satu. Visi bermain bola yang tinggi membuat Zulkarnaen mampu membaca pergerakkan pemain belakang lawan sekaligus menentukan ke mana teman di lini depan harus bergerak. Singkatnya, aksi pemain yang pada masa jayanya memiliki ciri rambut gondrong ini memang sangat memikat.

Talenta itu juga yang membawa Zulkarnaen menghuni skuat timnas. Di tim Merah Putih, striker seperti Bambang Nurdiansyah, Dede Sulaiman dan Noah Meriem merasakan sekali matangnya umpan-umpan Zulkarnaen. SEA Games, Pra Piala Dunia, dan Asian Games adalah ajang-ajang internasional yang pernah diikuti Zulkarnaen.

Di level klub, pemain ini sempat mengecap prestasi puncak bersama Krama Yudha Tiga Berlian. Dua kali Zulkarnaen mengantarkan klub ini ke jenjang juara Kompetisi Galatama.

14.Rully Nere:

Rully Rudolf Nere (lahir di Papua, 13 Mei 1957; umur 56 tahun) adalah salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia.[1] Ia pernah memperkuat timnas nasional beberapa kali pada periode tahun 1980-an. Dalam kompetisi liga, ia memperkuat Persipura Jayapura.

Saat ini ia adalah pelatih dari Pro Titan Football Club. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Pembinaan Usia Muda PSSI periode 2003 - 2007. Sebelumnya ia pernah melatih PSPS Pekanbaru, Persiba Bantul, PS Palembang, dan PSSI U-20.

Mitchell Leandro Nere, anak dari Rully Nere sekarang bermain untuk Pro Titan dalam kompetisi Divisi Utama.

15.Nobon Kayamudin:

Nobon Kayamudin (karier 1971-1979) adalah salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia. Dia berposisi sebagai gelandang. Dia juga mendapat julukan Biang Kerok. Bermain di Divisi Satu adalah sejarah terburuk bagi salah satu tim pilar Liga Indonesia ini. Namun, di bawah tangan dingin pelatih Nobon Kayamudin, PSMS berhasil promosi ke Divisi Utama. Kendati membawa PSMS promosi, Nobon didepak oleh klub dan kemudian digantikan oleh pelatih Sutan Harhara.

16.Surya Lesmana:

Liem Soei Liang alias Surya Lesmana 列姆隋亮 (lahir di Balaraja, Tangerang, 20 Mei 1944 – meninggal di Glodok, Jakarta Barat, 8 Agustus 2012 pada umur 68 tahun) adalah seorang pemain sepak bola terkenal Indonesia di era tahun 1960an. Ia memperkuat tim nasional PSSI selama 10 tahun (1963-1972) dan Persija Jakarta selama 14 tahun (1962-1975). Ketika masa jayanya, Surya Lesmana dikenal sebagai gelandang jempolan yang memiliki kemampuan menyerang ataupun bertahan sama baiknya.

17.M Basri:

Basri memulai kariernya di Klub MOS pada tahun 1961 dan dilanjutkan di klub Pardedetex dan HBS Surabaya.

Basri sempat membela timnas di Asian Games 1962. Pada saat itu, Indonesia menjadi tuan rumah pesta olahraga se-Asia. Selanjutnya, Basri terus tampil pada dua Asian Games berikutnya. Ia juga menjadi bagian timnas saat Indonesia turun di Ganefo.

Persebaya Surabaya adalah tim pertama yang diasuh Basri. Pada musim 1977, Basri berhasil mengantarkan Persebaya jadi juara Kompetisi Perserikatan. Usai memberikan prestasi puncak bagi Persebaya, Basri pindah ke Niac Mitra. Nampaknya Basri juga ingin menjajal kerasnya Kompetisi Galatama. Lagi-lagi keampuhan racikan Basri terbukti. Tiga kali Niac Mitra dibawa Basri jadi juara Galatama, masing-masing pada 1981, 1982, dan 1986.

Kenyang merasakan persaingan di era Kompetisi Perserikatan dan Galatama, karier Basri sebagai pelatih terus berlanjut saat sepak bola Indonesia memasuki fase Liga Indonesia. Sebagai putra derah, di awal Liga Indonesia bergulir, Basri sangat bangga bisa menukangi PSM Makassar. Nyaris saja Piala Presiden, lambang supremasi Liga Indonesia berhasil dipersembahkan Basri bagi tanah kelahirannya. Sayang, di final Liga Indonesia 1995/1996, PSM Makassar kalah 0-2 dari Mastrans Bandung Raya di final. PSM Makassar pun gagal jadi juara Liga Indonesia untuk kali pertama.

Sebagai pelatih, Basri dikenal keras dan tegas. Ia selalu menegakkan disiplin tinggi pada tiap tim yang diasuhnya. Hingga kini, Basri bisa dikatakan sebagai pelatih lokal paling senior yang masih beredar di kancah sepak bola nasional Indonesia.

18. Thio Him Tjiang:

Thio Him Tjiang (lahir di Jakarta, 28 Agustus 1929; umur 84 tahun) adalah seorang pemain sepak bola Indonesia di era tahun 1950an. Ia merupakan atlet berprestasi hasil binaan Klub Union Makes Strength (UMS), salah satu klub sepak bola tertua di Indonesia dan klub yang tergabung dalam Persija Jakarta.

Thio Him Tjiang besar dan tumbuh dari keluarga pemain sepak bola. Ayahnya, Thio Kioe Sen, adalah pemain UMS. Thio Kioe Sen mempunyai tujuh anak, enam lelaki dan satu perempuan. Semua anak lelakinya; Thio Him Gwan, Thio Him Tjiang, Thio Him Toen, Thio Him Eng, Thio Him Boen, dan Thio Him Hok adalah pemain UMS. Namun di antara semuanya yang paling terkenal adalah Thio Him Tjiang.

Thio Him Tjiang dikenal sebagai orang yang mempunyai loyalitas tinggi. Ia tetap setia bermain untuk UMS walaupun pernah diminta untuk bermain di Klub Tjung Hwa (sekarang PS Tunas Jaya), musuh bebuyutan Klub UMS. Di bawah bimbingan pelatih Endang Witarsa (Lim Sun Yu), prestasi Thio Him Tjiang semakin bersinar. Ia bukan hanya berprestasi di UMS melainkan juga masuk menjadi pemain inti Persija dan tim nasional PSSI.

Thio Him Tjiang yang bermain sebagai gelandang, memperkuat Tim Merah Putih selama 8 tahun (1951-1958). Setelah pensiun sebagai pemain, Ia tidak mau melanjutkan karier sebagai pelatih sebagaimana teman-temannya yang lain. Thio Him Tjiang tetap memegang teguh prinsip: ingin dikenang sebagai pemain sepak bola saja bukan sebagai pelatih sepak bola

19.Widodo Cahyono Putro:

Widodo Cahyono Putro (lahir di Cilacap, Jawa Tengah, 8 November 1970; umur 43 tahun) adalah seorang pelatih dan pemain sepak bola legendaris Indonesia.[ Posisinya saat bermain adalah penyerang. Widodo seangkatan dengan Rocky Putiray, Joko Susilo, dan Aji Santoso.Widodo mengawali sebagai pemain profesional di klub Galatama, Warna Agung (1990–1994). Bakatnya ditemukan oleh Endang Witarsa. Setelah itu ia pindah ke Petrokimia Putra Gresik, hingga 1998. Di Klub inilah penampilan Widodo semakin meningkat dan ia menjadi bagian dari Tim nasional sepak bola Indonesia hingga ia meraih prestasi hasil dari tendangan saltonya saat melawan Kuwait yang dinobatkan sebagai gol terbaik Piala Asia AFC 1996. Setelah selama empat tahun ia pindah ke Persija Jakarta hingga 2002. Setelah dari Persija Jakarta ia kembali ke Petrokimia Putra Gresik hingga gantung sepatu dan menjadi seorang pelatih di klub tersebut.

20.Ricky Yacob:

Ricky Yacob (lahir di Medan, Sumatera Utara, 12 Maret 1963; umur 50 tahun) adalah seorang pemain sepak bola legendaris Indonesia

Masa keemasan Ricky Yacob terjadi pada paruh kedua dekade 1980-an. Karier sepak bolanya banyak dihabiskan bersama klub Arseto Solo. Selain itu ia pernah memperkuat PSMS Medan sewaktu merebut Piala Suratin. Ia selalu bersaing dengan Bambang Nurdiansyah (Krama Yudha/Pelita Jaya) untuk memperebutkan satu tempat di tim nasional. Kini, Ricky Yacob lebih dikenal dengan nama Ricky Yacobi, ejaan nama yang diperolehnya saat bermain di Liga Jepang.

Selama bermain di Indonesia, Ricky tidak pernah membawa klubnya menjadi juara (Galatama/Liga Indonesia). Namun, ia sempat dua kali turut mempersembahkan medali emas SEA Games pada tahun 1987

21.Andi Ramang:

Andi Ramang (lahir di Sulawesi Selatan, 24 April 1924 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 26 September 1987 pada umur 63 tahun) adalah pemain sepak bola Indonesia dari PSM Makassar yang terkenal pada tahun 1950-an. Ia berposisi sebagai penyerang. Dia pernah mengantarkan PSM ke tangga juara pada era Perserikatan serta pernah memperkuat tim nasional sepak bola Indonesia.Ramang mulai memperkuat PSM Makassar pada tahun 1947, waktu itu masih bernama Makassar Voetbal Bond (MVB). Melalui sebuah klub bernama Persis (Persatuan sepak bola Induk Sulawesi) ia ikut kompetisi PSM. Pada sebuah pertandingan, ia mencetak sebagian besar gol dan membuat klubnya menang 9-0.

nah, sekian dari admin, semoga semangat yang diberikan oleh para legenda sepak bola Indonesia dapat menjadi motivasi bagi pemain muda masa kini. Salam sepak bola.
 
Sumber : http://sepak-bola-id.blogspot.co.id/2015/01/pemain-sepak-bola-legendaris-indonesia.html

Posted by Ahmad Zaini On 00.03 0 komentar

5 Petinju Legendaris di Indonesia


1.Ellyas Pical



Ellyas Pical (lahir di Saparua, Maluku Tengah, 24 Maret 1960) adalah petinju asal Indonesia yang merupakan juara dunia pertama dari Indonesia.
Pical jatuh cinta kepada olahraga tinju sejak menonton pertandingan-pertandingan tinju di TVRI, terutama pertandingan Muhammad Ali.

Sebagai petinju amatir yang bermain di kelas terbang, ia kerap menjadi juara mulai dari tingkat kabupaten hingga kejuaraan Piala Presiden. Karier profesionalnya dimulai pada tahun 1983 dalam kelas bantam junior. Sejak itu, berturut-turut sederet prestasi tingkat dunia diraihnya, seperti juara OPBF setelah mengalahkan Hi-yung Chung asal Korea Selatan dengan kemenangan angka 12 ronde pada 19 Mei 1984 di Seoul, Korea Selatan. Atas kemenangan ini, Pical menjadi petinju profesional pertama Indonesia yang berhasil meraih gelar internasional di luar negeri.

Ia merebut gelar juara IBF kelas bantam yunior (atau kelas super terbang) dari petinju Korea Chun Ju-do di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1985. Setelah mempertahankan gelar melawan petinju Australia, Wayne Mulholland, 25 Agustus 1985, Pical harus mengakui keunggulan petinju Republik Dominika, Cesar Polanco dengan angka di Jakarta. Namun Pical mampu bangkit dan membalas kekalahannya atas Polanco dengan balik memukul KO Polanco pada pertandingan kedua di Jakarta, 5 Juli 1986.

Pasca kekalahan dari Perez, Pical sempat bertanding non gelar sebanyak 3 kali, hingga akhirnya ayah dari Lorinly dan Matthew Pical ini pun sedikit demi sedikit menyingkir dari ring tinju. Pical yang tidak sempat lulus SD ini kemudian bekerja sebagai petugas keamanan (satpam) di sebuah diskotik di Jakarta.


2.Nicholas Thomas



Nicholas Thomas ( Kanan )
Nicholas Thomas (lebih populer sebagai Nico Thomas; lahir di Ambon, Maluku, Indonesia, 10 Juni 1966; umur 45 tahun) adalah seorang petinju asal Indonesia. Ia merebut gelar juara dunia kelas terbang mini versi IBF dengan mengalahkan Samuth Sithnaruepol (Thailand) dengan angka di Jakarta, 17 Juni 1989. Namun gelar itu tak bertahan lama karena Thomas kemudian kalah KO di ronde 5 dari Eric Chavez (Philipina), di Jakarta, 21 September 1989.

3. Yohannes Christian John



Yohannes Christian John, atau lebih dikenal sebagai Chris John (lahir di Banjarnegara, 14 September 1979; umur 32 tahun) adalah seorang petinju Indonesia. Ia tercatat sebagai petinju Indonesia ketiga yang berhasil meraih gelar juara dunia, setelah Ellyas Pical dan Nico Thomas.

Chris John kemudian terjun ke dunia tinju profesional pada tahun 1998 dalam debut melawan Firman Kanda. Saat itu Chris John menang angka dalam pertandingan 6 ronde. Namanya kemudian melesat bagai meteor saat dia berhasil mengkanvaskan petinju idola saat itu, Muhammad Alfaridzi, dalam pertandingan menegangkan selama 12 ronde. Chris John sempat terkena knockdown dua kali di ronde pertama, tapi dia berhasil membalikkan situasi dengan memukul KO Alfaridzi pada ronde ke-12, sekaligus merebut gelar juara nasional kelas bulu. Menurut pengakuan Chris John, kondisinya sangat buruk saat itu, dan dia mengalami pendarahan pada hidung karena tulang hidungnya patah.
Setelah beberapa kali bertanding dalam perebutan gelar nasional, Chris John berhasil menundukkan rekan senegaranya Soleh Sundava pada tahun 2001 untuk merebut gelar PABA kelas bulu.

Kesempatan emas bagi Chris John dan bangsa Indonesia tiba saat Chris John berkesempatan menantang Oscar Leon dari Kolombia pada 26 September 2003 di Bali. Chris John menang angka tipis (split decision) dalam pertandingan 12 ronde tersebut, dan dinyatakan berhak menyandang gelar juara dunia WBA sementara (interim title).

Tak lama, WBA "menghibahkan" gelar juara definitif (bukan lagi gelar interim) kepada Chris John, saat sang juara bertahan Derrick Gainer dari Amerika Serikat kalah angka dari Juan Manuel Marquez (Meksiko, juara IBF). Saat itu, sesuai peraturan badan tinju WBA, Marquez dinyatakan sebagai juara super (super champion) WBA karena berhasil menyatukan dua gelar WBA dan IBF, dan Chris John sebagai juara reguler.

4. Wongso Suseno



Wongso Suseno (lahir di Malang, 17 November 1945; umur 66 tahun) adalah mantan petinju amatir yang menekuni dunia tinju profesional. Petinju ini adalah petinju profesional Indonesia pertama yang berhasil meraih gelar juara internasional. Wongso merebut gelar juara OPBF kelas welter setelah menundukkan Chang Kil Lee dari Korea Selatan, 28 Juli 1975 di Istora Senayan, Jakarta.
Wongso Suseno kini tinggal di Malang bersama istri Lily Cynthia, dan memiliki tiga putri dan seorang putra.


5.Muhammad Rachman



Muhammad Rachman (terlahir sebagai Mohammad Rachman Sawaludin bin Suhaimat di Merauke, Papua pada 23 Desember 1971) adalah seorang petinju asal Indonesia. Ia adalah mantan juara dunia kelas terbang mini 47,6 kilogram versi IBF. Dan saat ini dia adalah juara dunia di kelas yang sama untuk versi WBA.

Pada tahun 1991, Rachman berhasil meraih gelar juara nasional kelas terbang mini, saat memukul KO juara bertahan Muhammad Sadik. Kemenangan demi kemenangan diraih Rachman, sampai akhirnya promotor kenamaan saat itu, Aseng, menandingkannya di tingkat internasional melawan petinju Filipina, Roger Mananquil. Rachman berhasil memukul KO Mananquil pada ronde 8 dan merebut gelar juara IBF Intercontinental (level Asia Pasifik) pada tahun 2000.

Setelah lebih dari 10 tahun berkecimpung di dunia tinju pro, Rachman berhasil merebut gelar juara dunia IBF kelas terbang mini, saat dia berhasil menundukkan petinju lincah dari Kolombia, Daniel Reyes (14 September 2004). Rachman tercatat sudah memperahankan gelarnya melawan Fahlan Sakreerin (Thailand) dengan technical draw pada 5 April 2005, dan menang KO ronde 6 atas Omar Soto (Meksiko) pada 6 Mei 2006.
Pada 23 Desember 2006, Rachman kembali mempertahankan gelar dengan manis, saat memukul KO petinju Filipina Benjie Sorolla pada ronde ke-6. Sebuah kado manis tepat pada hari ulangtahunnya yang ke-35.


Sumber :  http://duitbux.info/index.php?topic=1663.0

Senin, 21 November 2016

Posted by Ahmad Zaini On 23.48 0 komentar

6 Atlet Legendaris yang Bikin Bulutangkis Indonesia Berjaya di Dunia

Kita semua pasti mengenal badminton atau yang akrab dengan sebutan bulutangkis. Olahraga ini diklaim sebagai olahraga paling populer setelah sepakbola. Bukan hal berlebihan memang, mengingat bulutangkis sama seperti sepakbola yang dapat dimainkan siapa saja, dimana saja dan kapan saja, tanpa harus memiliki keterampilan khusus.




Dari sisi olahraga profesional, bulutangkis saat ini didominasi oleh atlet-atlet dari Asia, terutama China. Bahkan atlet asal Tiongkok seakan menjadi momok bagi pemain dari negara lain. Sebelum China, Indonesia adalah negara yang paling mendominasi cabang olahraga ini. Hal ini terbukti dengan rekor juara Thomas Cup terbanyak, yaitu 13 kali juara yang masih dipegang Indonesia. Mengenang kejayaan Indonesia, inilah deretan atlet bulutangkis legendaris Indonesia yang pernah ditakuti dan disegani lawan lawannya.



1.Rudy Hartono

Inilah atlet pelopor yang membuat bulutangkis Indonesia disegani di dunia. Rudy Hartono adalah salah satu legenda bulutangkis bukan hanya di Indonesia tapi juga di dunia. Dia bahkan disebut-sebut sebagai salah satu atlet bulutangkis paling hebat sepanjang masa. Rudi Hartono mulai mendominasi pada tahun 1968 sebagai juara All England. Dia bahkan menjadi satu-satunya atlet yang berhasil menjadi juara sebanyak 7 kali pada kejuaraan ini, dari tahun 1968 – 1974. Selain itu, Rudi juga menjadi salah satu dari tim Indonesia yang memenangkan kejuaraan Thomas Cup 6 kali secara beruntun, dari tahun 1970 – 1982.



Salah satu senjata Rudy Hartono saat bertanding adalah pergerakannya yang lincah dan cepat, yang bahkan tidak dapat disamai oleh lawan-lawannya. Dia juga mampu menguasai permainan dengan baik, tahu kapan harus menyerang dan kapan bermain reli reli panjang. Hingga saat ini Rudy Hartono tercatat sebagai pemegang titel juara All England terbanyak untuk sektor single pria dengan 8 kali juara. Rudy Hartono dinobatkan di Badminton Hall of Fame pada tahun 1997.

2.Liem Swie King

Setelah era Rudy Hartono, hadirlah Liem Swie King. Salah satu pemain yang menjadi rival Rudy Hartono sekaligus menjadi pemain top dunia di sektor single pria pada eranya. Liem dijuluki “King” yang berarti raja, karena  dia pernah 33 bulan tak tersentuh oleh kekalahan. Dia juga dikenal sebagai pemain bulutangkis dengan pukulan smash yang sangat kuat dan lompatan yang tinggi, hingga pukulannya mendapat julukan “King Smash”.



Prestasinya juga tidak kalah mengagumkan. Liem meraih 3 kali juara All England, 4 kali juara Sea Games dan medali emas Asian Games Bangkok 1978. Liem juga 6 kali membela tim Thomas Cup Indonesia dengan 3 diantaranya berhasil mengantarkan Indonesia menjadi juara. Kelebihan lain dari Liem adalah bahwa dia juga handal di sektor ganda. Ini diperlihatkan saat kejuaraan Thomas Cup, dia mampu bermain di sektor single dan ganda sekaligus. Liem dinobatkan masuk ke Badminton Hall of Fame pada tahun 2004. Dia juga telah menerbitkan sebuah buku biografi dirinya serta perjalanannya di dunia buklutangkis dijadikan inspirasi untuk sebuah film yang berjudul “King”.

3.Christian Hadinata

Bila Rudy Hartono dan Liem Swie King berjaya di sektor single pria, maka Christian Hadinata adalah tumpuan Indonesia di sektor ganda. Christian Hadinata mengawali karirnya sebagai pemain di sektor single, dan pada saat itu mampu menembus partai final All England. Tapi masa keemasannya dimulai saat dia menjadi pemain ganda, bahkan dia disebut-sebut sebagai salah satu pemain ganda pria terbaik dalam sejarah bulutangkis.



Prestasinya yang mentereng antara lain, juara 2 kali Asian Games, 4 kali All England dan 3 kali Juara Dunia. Hebatnya lagi, Christian bisa meraih juara dengan banyak pasangan berbeda, baik di ganda putra maupun di ganda campuran. Dia juga 6 kali menjadi bagian dari tim Thomas Cup Indonesia dan selalu menang, tidak peduli berpasangan dengan siapa.

Kehidupannya pun tidak jauh dari bulutangkis setelah pensiun. Christian Hadinata menjadi pelatih bulutangkis dan kejeniusannya ditularkan kepada anak didiknya. Dia mampu meramu pasangan-pasangan ganda Indonesia menjadi pemain yang menakutkan dan berprestasi di lapangan, seperti pasangan Rexy Mainaki/Ricky Subagdja dan Candra Wijaya/Sigit Budiarto. Hari bersejarah untuknya terjadi pada tahun 2002 saat kejuaraan Thomas Cup di Guangzhou China, dimana dia dinobatkan masuk ke Badminton Hall of Fame. Hal itu semakin indah karena penobatannya dilangsungkan bersamaan dengan penyerahan piala Thomas kepada tim Indonesia yang berhasil menjadi pemenang.

4.Susi Susanti

Selain dari sektor pria, legenda Indonesia juga banyak hadir dari sektor wanita. Yang paling mentereng namanya dari sektor ini adalah Susi Susanti. Namanya termasuk dalam deretan atlet wanita paling sukses sepanjang sejarah bulutangkis. Bertanding di sektor single wanita, postur tubuhnya yang kecil tidak menjadi hambatan bagi Susi Susanti untuk berprestasi. Dengan memanfaatkan posturnya, dia mampu bergerak lincah dan cekatan. Tehnik pukulannya pun tidak bisa dianggap remeh. Dengan kombinasi semua itu, Susi Susanti mampu bertanding “indah” layaknya seorang balerina. Menjadi juara Sudirman Cup, 2 kali mengantarkan Indonesia menjuarai Uber Cup, 6 kali Juara Dunia, dan peraih medali emas olimpiade 1992 di Barcelona menjadi bukti keperkasaan seorang Susi Susanti.



Susi Susanti meraih medali emas bebarengan pula dengan kekasihnya yang juga atlet bulutangkis, Alan Budikusuma. Hal ini menjadikan mereka mendapat sebutan ” Gold Bride ” atau Pasangan Emas Indonesia. Inipun menjadi sejarah bagi Indonesia, karena itu adalah pertama kalinya Indonesia meraih emas dalam 50 tahun keikutsertaannya di Olimpiade. Selain itu, hal ini juga menjadi semacam tradisi yang harus dijaga, bahwa bulutangkis adalah cabang olahraga yang wajib mempersembahkan emas untuk Indonesia. Setelah menikah dan pensiun, Susi Susanti dan suaminya mendirikan ASTEC ( Alan and Susi Technology ), perusahaan pembuat raket, utamanya raket badminton yang bermarkas di China.

5.Rexy Mainaky – Ricky Soebagja

Legenda lain hadir dari sektor ganda pria Indonesia. Pasangan yang lahir dari racikan salah satu legenda Indonesia, Christian Hadinata, ini pada masanya adalah pasangan ganda pria terbaik dan paling sukses di dunia bulutangkis. Mereka dikenal karena kecepatan, reflex dan juga kekuatan pukulannya. Mereka merajai pagelaran bulutangkis dunia untuk sektor ganda pria selama hampir 1o tahun. Selama itu pula Rexy/Ricky berhasil menjuarai semua kejuaraan bulutangkis besar yang pernah diadakan di planet ini setidaknya sekali, dengan total menjadi juara lebih dari 30 kali.



Setelah pensiun, Rexy Mainaky sempat menjadi pelatih atlet pelatnas bulutangkis dan mampu melahirkan sederet bintang-bintang muda baru seperti Sony Dwi Kuncoro dan Simon Santoso. Dia lalu hijrah ke Inggris, Malaysia dan Filipina untuk melatih disana, sebelum akhirnya kembali melatih di Indonesia. Untuk Ricky Soebagja, selepas pensiun dia menjadi pelatih klub bulutangkis di Batam dan menjadi Brand Ambasador Flypower, sebuah perusahaan peralatan bulutangkis di Indonesia. Pasangan Rexy Mainaky/ Ricky Soebagja dinobatkan masuk ke dalam Badminton Hall of Fame pada tahun 2009 lalu.

6.Taufik Hidayat

Siapa yang tidak mengenal pemain bulutangkis Indonesia satu ini. Gayanya yang terkesan bengal tapi tetap cool di luar lapangan, serta permainannya yang sangat menghibur di lapangan, membuat bukan saja penonton pria tapi juga penonton wanita berteriak histeris. Karena itulah atlet satu ini mendapat julukan Tangan Ajaib.



Di dunia bulutangkis, Taufik Hidayat mempunyai rival abadi yang bernama Lin Dan, pebulutangkis asal China. Rivalitas antar keduanya sering menjadi buah bibir, serta fokus media dan publik bulutangkis saat itu. Di masa emasnya, Taufik Hidayat berhasil menjadi Juara Dunia, meraih medali emas olimpiade 2004 di Athena, 3 kali Juara Asia, 3 kali juara Asian Games serta 2 kali mengantarkan Indonesia meraih juara Thomas Cup. Sayang salah satu mimpinya yaitu meraih gelar juara di All England tidak bisa terwujud sampai dia pensiun.
Taufik Hidayat dikenal dengan teknik pukulan yang lengkap dan juga terukur seperti netting, backhand dan jumping smash yang tajam. Pada kejuaraan dunia tahun 2006, Taufik Hidayat berhasil memecahkan rekor jumping smash tercepat, mencapai 305 km/jam. Dia menikah dengan Ami Gumelar, putri dari Agum Gumelar, mantan Ketua Umum PSSI. Setelah pensiun, Taufik Hidayat mendirikan Taufik Hidayat Arena sebuah komplek arena olahraga di daerah Ciracas, Jakarta Timur.

 Itulah beberapa legenda bulutangkis Indonesia. Masih banyaknya legenda lain yang namanya tidak akan cukup untuk dimasukkan satu persatu, seakan menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara yang kaya prestasi di cabang bulutangkis. Sama seperti Brazil dengan sepak bolanya, meskipun saat ini prestasi Indonesia di kancah dunia bulutangkis sedang naik turun, tapi yakinlah bahwa Indonesia tidak akan kekurangan bibit-bibit atlet muda yang siap mengukir prestasi dan menjadi legenda-legenda baru bulutangkis.

Sumber : http://www.boombastis.com/legenda-bulutangkis-indonesia/51061